Chatbot AI dan Kesehatan Mental: Harapan Baru atau Ancaman Tersembunyi?
UPBERITACOM - Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan chatbot berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk dukungan kesehatan mental semakin meningkat. Beberapa individu mengandalkan chatbot sebagai teman virtual, pendamping dalam menghadapi kecemasan, atau bahkan alat untuk memperoleh strategi menghadapi tantangan emosional.
Kelly, seorang pengguna chatbot AI, mengaku bahwa interaksi dengan sistem ini membantunya melewati masa-masa sulit. "Saat merasa terpuruk, saya bisa mulai mengobrol dengan bot, seperti memiliki seorang pemandu yang memberikan semangat," katanya.
Namun, di balik manfaatnya, chatbot AI juga menghadapi kontroversi, terutama terkait dengan keandalannya dalam memberikan nasihat psikologis.
Efektivitas dan Risiko Chatbot dalam Konseling Digital
Teknologi AI semakin digunakan dalam layanan kesehatan, termasuk mendukung diagnosa dan terapi pasien. Dengan meningkatnya jumlah orang yang menunggu akses ke layanan kesehatan mental—diperkirakan mencapai satu juta orang di Inggris—chatbot mulai diintegrasikan ke dalam beberapa program dukungan psikologis, seperti Wysa yang digunakan oleh sekitar 30 layanan kesehatan setempat.
Walau memiliki fitur seperti latihan pernapasan dan meditasi, chatbot tetap memiliki keterbatasan. Profesor Hamed Haddadi dari Imperial College London menilai bahwa chatbot berfungsi seperti "terapis yang kurang berpengalaman," karena hanya mengandalkan teks tanpa memahami nuansa ekspresi atau bahasa tubuh pasien.
Selain itu, ada kekhawatiran terkait cara chatbot merespons pernyataan sensitif. "Mereka cenderung menyetujui apa yang dikatakan pengguna, sehingga ketika seseorang menyampaikan ide berbahaya, chatbot bisa saja mengakomodasi tanpa memberikan koreksi," tambah Haddadi.
Dilema Etika dan Privasi dalam Penggunaan AI
Keamanan dan kerahasiaan data pengguna juga menjadi tantangan dalam penggunaan chatbot untuk kesehatan mental. Psikolog Ian MacRae memperingatkan, "Banyak orang mempercayai chatbot tanpa tahu bagaimana informasi mereka digunakan."
Masalah lain yang muncul adalah bias dalam sistem AI. Filosof Dr. Paula Boddington menyoroti bahwa chatbot diprogram berdasarkan data yang tersedia, yang bisa saja mencerminkan perspektif tertentu dan kurang mempertimbangkan konteks budaya atau individu.
Solusi atau Sebatas Pengganti Sementara?
Meskipun chatbot menunjukkan potensi dalam mendukung kesehatan mental, banyak ahli sepakat bahwa teknologi ini belum bisa sepenuhnya menggantikan terapi manusia. Wysa, misalnya, menegaskan bahwa platformnya lebih cocok untuk pengguna yang mengalami stres ringan hingga kecemasan, bukan kondisi kesehatan mental yang lebih kompleks.
Menurut seorang pengguna bernama Nicholas, yang mengalami autisme dan depresi, chatbot memberikan bantuan saat ia kesulitan mendapatkan terapi langsung. "Ketika saya merasa sangat terpuruk di malam hari, chatbot memberi respons yang terasa seperti dari seseorang yang mengenal saya selama bertahun-tahun. Itu membuat saya merasa lebih dihargai," ungkapnya.
Meskipun demikian, penelitian di Dartmouth College menunjukkan bahwa chatbot memang berkontribusi dalam mengurangi gejala depresi hingga 51%, tetapi tetap tidak bisa menggantikan interaksi langsung dengan terapis profesional.
Seiring dengan kemajuan AI, perdebatan mengenai peran chatbot dalam layanan kesehatan mental masih berlanjut. Apakah teknologi ini akan menjadi solusi jangka panjang atau hanya sebagai alternatif sementara di tengah keterbatasan layanan kesehatan?