ZoyaPatel

AI Bisa Jadi Mitra Sekaligus Kunci Sukses dalam Komunikasi Publik

Mumbai



UPBERITA.COM -  Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi), Nezar Patria, menyerukan agar inovasi kecerdasan artifisial (AI) diposisikan sebagai mitra strategis bagi para praktisi kehumasan untuk mengoptimalkan komunikasi publik, bukan sebagai entitas yang menggantikan peran esensial manusia. 

Penegasan krusial ini disampaikan dalam keterangan pers yang diterima pada Kamis (23/10/2025), menggarisbawahi vitalnya kolaborasi sinergis antara kemajuan teknologi dan sentuhan kemanusiaan di lanskap digital yang terus berkembang.

Dalam pandangan Wamenkomdigi, meskipun AI menawarkan kapabilitas yang mengesankan dalam menciptakan konten secara mandiri dan mendukung berbagai aspek komunikasi publik, peran strategis manusia di baliknya tetap tak tergantikan. AI, menurutnya, harus dilihat sebagai alat penguat yang memperkaya kapasitas praktisi kehumasan, bukan sebagai substitusi yang menghilangkan nilai inheren dari keahlian dan intuisi manusia. Integrasi AI yang bijaksana diharapkan dapat mengantarkan profesi kehumasan menuju efisiensi dan relevansi yang lebih tinggi di masa depan.

Nezar Patria menegaskan bahwa tolok ukur keberhasilan seorang praktisi hubungan masyarakat di era mendatang akan sangat bergantung pada adaptasi dan kemahiran mereka dalam memanfaatkan AI. 

“Kesuksesan praktisi public relation di masa depan akan ditentukan oleh seberapa mahir kita menggunakan AI sebagai penguat strategis, dan seberapa teguh kita memegang standar etika dan kemanusiaan,” kata Nezar, menekankan perlunya keseimbangan antara kemajuan teknologi dan prinsip-prinsip fundamental kemanusiaan.

AI Sebagai Asisten Cerdas

Berbagai tugas dalam komunikasi publik kehumasan kini semakin efisien dengan bantuan AI. Nezar memaparkan bagaimana teknologi ini telah menjadi ‘asisten cerdas’ yang mampu menangani beragam pekerjaan, mulai dari menyusun draf awal siaran pers, melakukan analisis mendalam terhadap data publik untuk mendapatkan wawasan berharga, hingga memantau sentimen media secara real-time. Kemampuan AI dalam memproses informasi besar dan mengidentifikasi pola ini sangat membantu dalam pengambilan keputusan strategis.

Tidak hanya itu, banyak agensi komunikasi dan media massa telah mengintegrasikan AI untuk kebutuhan internal mereka, seperti penulisan laporan yang komprehensif atau perancangan kampanye komunikasi yang lebih terstruktur. Efisiensi waktu dan sumber daya yang ditawarkan AI memang menjanjikan. Namun, di balik semua kecanggihan itu, Nezar mengingatkan bahwa semua output dari AI tetap memerlukan "sentuhan manusiawi" untuk memastikan narasi komunikasi publik tetap relevan, kontekstual, dan sarat dengan empati.

Nilai tambah yang diberikan oleh praktisi kehumasan terletak pada kemampuan mereka untuk menyaring, menginterpretasi, dan mempersonalisasi informasi yang dihasilkan AI. “Hasil karya AI sering kali kehilangan sentuhan emosional yang hanya dapat dihadirkan oleh manusia. Padahal PR bekerja dengan targeted, kepada siapa mau disampaikan. Dan to tell the story ini, semua kemampuan manusiawi yang kita punya itu bisa kita tumpahkan,” jelas Nezar. Hal ini menyoroti bahwa empati, pemahaman budaya, dan kemampuan bercerita yang memukau adalah ranah eksklusif manusia yang tidak dapat sepenuhnya direplikasi oleh algoritma.

Etika dan Nalar Kritis di Era AI

Terlepas dari berbagai keunggulannya, penggunaan AI dalam komunikasi publik juga menyimpan potensi risiko yang perlu diwaspadai. Nezar menyoroti bahwa AI, dalam beberapa kasus, bisa saja melakukan “halusinasi” atau menciptakan informasi yang tidak akurat, bahkan mengarang fakta dalam menanggapi isu yang berkembang. Selain itu, ada kemungkinan AI menggunakan terminologi yang janggal atau tidak sesuai konteks, yang dapat mengurangi kredibilitas pesan yang disampaikan.

Oleh karena itu, peran manusia, khususnya para praktisi kehumasan, dalam mengelola dan memverifikasi output AI menjadi sangat krusial. Sentuhan dan pengawasan manusia berfungsi sebagai filter utama untuk memastikan bahwa setiap pesan yang disampaikan melalui inovasi teknologi tetap akurat, etis, dan efektif. Tanpa intervensi manusia, risiko penyebaran informasi yang keliru atau misleading dapat meningkat tajam, merusak reputasi dan kepercayaan publik.

Menyadari potensi tantangan ini, Nezar Patria menekankan urgensi penguasaan etika, literasi digital, dan kemampuan berpikir kritis bagi setiap praktisi kehumasan yang memanfaatkan AI. Penguasaan ketiga pilar ini adalah fondasi untuk menggunakan teknologi secara bijak, bukan hanya untuk memperkuat pesan, tetapi juga untuk menjaga integritas dan akuntabilitas komunikasi publik. Praktisi harus mampu membedakan antara informasi yang valid dan yang bias atau tidak tepat, serta memastikan bahwa penggunaan AI sejalan dengan nilai-nilai profesionalisme.

Wamenkomdigi menutup pernyataannya dengan visi yang kuat: “Masa depan komunikasi bukan hanya tentang teknologi, tapi bagaimana kita sebagai manusia mengendalikannya. Semoga kita bisa memajukan dunia PR kita dengan AI dan juga lebih manusiawi ke depan.” 


Ahmedabad