ZoyaPatel

BMKG Ungkap Faktor Tak Terduga yang Percepat Penurunan Daratan Indonesia

Mumbai




UPBERITA.COM - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis peringatan bahwa sejumlah wilayah pesisir di Indonesia menghadapi risiko tenggelam lebih cepat dari prediksi global, yang dipicu oleh kombinasi fatal antara kenaikan muka air laut, penurunan permukaan tanah akibat aktivitas tektonik, serta kelemahan infrastruktur yang ada. Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, laju penurunan daratan yang diperparah oleh berbagai faktor ini menuntut adanya aksi mitigasi dan adaptasi yang komprehensif dari seluruh pihak terkait.


Ancaman tenggelamnya wilayah pesisir sering kali hanya dikaitkan dengan dampak perubahan iklim global, yaitu mencairnya es di kutub yang menyebabkan volume air laut meningkat. Namun, BMKG menegaskan bahwa situasi di Indonesia jauh lebih kompleks dan mengkhawatirkan karena adanya faktor geologis lokal yang signifikan.

Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa selain kenaikan muka air laut, sebagian besar daratan di Indonesia juga mengalami penurunan secara alami akibat pergerakan lempeng tektonik. Kombinasi kedua fenomena ini menciptakan efek ganda yang mempercepat proses "tenggelam".

"Indonesia lebih parah karena tenggelamnya tidak hanya karena kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim. Secara tektonik, ini pulaunya itu semakin turun secara tektonik," ujar Dwikorita. "Jadi kecepatan penurunan atau kenaikan muka air laut itu mencapai lebih dari 4 sentimeter dalam per tahun," lanjutnya.

Peringatan ini sejalan dengan riset yang pernah dipublikasikan oleh jurnal Nature Communication pada 2019. Studi tersebut memproyeksikan bahwa kota-kota besar di Asia, termasuk Jakarta, berisiko tinggi terendam pada tahun 2050 akibat kenaikan permukaan laut yang diperkirakan mencapai 30 hingga 50 sentimeter.

Adaptasi Infrastruktur dan Kebijakan Berbasis Sains

Menghadapi ancaman yang nyata ini, Dwikorita menekankan pentingnya langkah adaptasi dan mitigasi yang tidak hanya berfokus pada isu iklim, tetapi juga pada pembenahan tata kelola lahan dan sumber daya air. Salah satu tantangan terbesarnya adalah banyak infrastruktur vital yang ada saat ini dibangun tanpa memperhitungkan variabel perubahan iklim.

"Karena infrastruktur yang ada saat ini, itu didesain berdasarkan kondisi iklim dan cuaca sebelum ada isu perubahan iklim. Seperti bendungan, itu ada yang dibangun, didesain di tahun 1950, di desain tahun 1960 atau bahkan sebelumnya," jelasnya.

Desain lama tersebut membuat banyak infrastruktur pengendali air menjadi tidak lagi relevan dengan kondisi cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi. Oleh karena itu, diperlukan perancangan ulang dan pembangunan infrastruktur baru yang tangguh terhadap iklim.

Lebih dari sekadar mencegah bencana, penyesuaian kebijakan ini juga krusial untuk menjamin ketahanan di sektor lain. Dwikorita menegaskan bahwa tata kelola air yang baik merupakan fondasi bagi swasembada pangan dan ketahanan energi nasional.

"Karena tata kelola air ini juga terkait swasembada pangan, ketahanan energi, ketahanan air itu semestinya harus sains based. Sains based policy itu harus kuat," pungkasnya.

TAGS: BMKG, Perubahan Iklim, Kenaikan Permukaan Laut, Penurunan Muka Tanah, Mitigasi Bencana, Jakarta Tenggelam, Krisis Iklim

Ahmedabad