Menyalakan Literasi Inklusif untuk Meraih Prestasi
![]() |
Kegiatan membaca bersama anak anak di Perpustakaan Desa |
Penulis : M. Aidil Hariyandi
UPBERITA.COM - Perpustakaan bukan sekadar ruang penyimpanan buku, tetapi pusat pemberdayaan masyarakat. Di Kabupaten Aceh Tamiang, hadirnya Relawan Literasi Masyarakat (Relima) menjadi bukti nyata bahwa literasi bisa menjangkau pelosok desa dan menyentuh semua lapisan, termasuk anak-anak, remaja, ibu rumah tangga, hingga lansia.
Relima aktif mendampingi perpustakaan desa dengan berbagai program inovatif. Mereka rutin mengadakan membaca bersama anak-anak, membina kelompok belajar remaja, hingga mengajarkan literasi digital agar generasi muda lebih bijak memanfaatkan teknologi. Tidak hanya itu, Relima juga mendampingi ibu-ibu rumah tangga melalui pelatihan kewirausahaan berbasis informasi. Misalnya, pelatihan membuat kerajinan tangan dan memasarkan produk secara daring. Para lansia pun tidak ketinggalan, Relima menginisiasi literasi kesehatan, seperti pemahaman gizi seimbang dan pola hidup sehat.
Perubahan mulai terlihat. Anak-anak yang dulunya lebih akrab dengan gawai kini gemar mengunjungi perpustakaan. Kaum ibu yang awalnya hanya beraktivitas di rumah kini percaya diri mengembangkan usaha kecil. Sementara itu, kelompok lansia lebih peduli menjaga kesehatan diri berkat materi literasi yang mereka terima.
Cerita nyata ini membuktikan bahwa Relima berhasil menghidupkan perpustakaan desa sebagai pusat pembelajaran sepanjang hayat. Keberhasilan Relima tidak lepas dari kolaborasi dengan berbagai pihak yaitu Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan, pemerintah desa, komunitas pemuda, hingga lembaga adat.
![]() |
Relima berdiskusi dengan mitra untuk kegiatan literasi yang inklusif |
Dari sinergi ini lahirlah inovasi seperti pojok baca di balai desa, kelas keterampilan remaja, dan pelatihan literasi digital untuk masyarakat. Relima mampu menjadi jembatan yang memperkuat hubungan antar elemen masyarakat demi terciptanya budaya literasi. Meski begitu, perjalanan Relima tidak selalu mulus. Keterbatasan sarana, minimnya koleksi buku sesuai kebutuhan, dan rendahnya kesadaran sebagian warga menjadi hambatan nyata.
Namun, Relima menjawab tantangan dengan kreativitas yaitu memanfaatkan ruang sederhana untuk kegiatan literasi, menghadirkan aktivitas yang menarik agar masyarakat mau terlibat, serta menggalang donasi buku dari berbagai pihak. Kehadiran Relima di Aceh Tamiang membuktikan bahwa literasi inklusif bukan sekadar jargon, melainkan gerakan nyata yang membawa perubahan.
Praktik baik ini menjadi modal penting untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya, kreatif, dan mampu bersaing di era digital. Harapan saya, Relima terus diperkuat dengan dukungan pemerintah, sekolah, dan masyarakat luas, sehingga semangat literasi inklusif dapat mengakar kuat dan menjadi budaya bersama.