ZoyaPatel

Barista Starbucks di AS Siap Mogok Kerja Jelang Musim Liburan

Mumbai




UPBERITA.COM -  Para barista Starbucks yang tergabung dalam serikat pekerja di Amerika Serikat telah memberikan suara untuk melancarkan pemogokan terbuka, mengancam operasional raksasa kopi ini menjelang musim liburan dan khususnya pada "Red Cup Day" yang merupakan hari tersibuk perusahaan. Ancaman aksi ini muncul sebagai respons terhadap mandeknya perundingan kontrak yang adil antara serikat dan manajemen yang telah berlarut-larut.

Kondisi memanas ini menciptakan ketegangan yang signifikan bagi Starbucks, yang berjuang untuk memulihkan penjualan di tengah lanskap ekonomi yang menantang. Serikat pekerja Starbucks Workers United mengumumkan pada hari Rabu bahwa para pekerja siap untuk mogok jika kesepakatan kontrak yang adil tidak tercapai pada tanggal 13 November. Tanggal tersebut secara khusus sangat krusial karena dikenal sebagai "Red Cup Day," salah satu hari penjualan tertinggi Starbucks dalam setahun, di mana mereka biasanya meluncurkan cangkir liburan edisi terbatas. Aksi mogok ini berpotensi menyebar di lebih dari 25 kota dan dapat meningkat secara signifikan jika tidak ada kemajuan substansial dalam perundingan.

Tuntutan Keadilan 

Serikat pekerja, yang mewakili sekitar 9.500 pekerja atau sekitar 4% dari total tenaga kerja Starbucks di kafe-kafe AS, telah terlibat dalam pembicaraan kontrak dengan perusahaan sejak tahun lalu. Namun, perundingan tersebut terhenti akhir tahun lalu, dengan kedua belah pihak saling menyalahkan atas kebuntuan tersebut. Meskipun demikian, baik serikat maupun manajemen sama-sama menyatakan kesiapan untuk kembali ke meja diskusi.

Starbucks Workers United menuntut kontrak yang secara jelas mencerminkan "peningkatan staf, gaji yang lebih baik, dan perlindungan di tempat kerja." Tuntutan ini bukan tanpa dasar, mengingat serikat telah mengajukan lebih dari 1.000 tuntutan terhadap perusahaan ke Badan Hubungan Perburuhan Nasional (NLRB) atas dugaan praktik perburuhan yang tidak adil. Ini menunjukkan tingkat frustrasi yang mendalam di kalangan pekerja yang merasa hak-hak mereka diabaikan.

Michelle Eisen, seorang juru bicara serikat yang telah mengabdikan 15 tahun masa kerjanya di Starbucks sebelum hengkang, menyampaikan pernyataan tegas yang menyoroti urgensi situasi ini. "Jika Starbucks terus stonewalling (menghalangi), mereka harus bersiap melihat bisnis mereka terhenti total. Bola ada di tangan Starbucks," kata Eisen, dikutip Reuters. Pernyataan ini menegaskan bahwa serikat serius dengan ancaman mogok dan menempatkan tanggung jawab penyelesaian konflik sepenuhnya pada manajemen Starbucks.

Menanggapi ancaman mogok yang semakin nyata ini, Starbucks bersikeras bahwa mereka telah menawarkan kondisi kerja yang terbaik di industri ritel. Dalam sebuah pernyataan resmi, perusahaan menegaskan, "Setiap perjanjian perlu mencerminkan realitas bahwa Starbucks sudah menawarkan pekerjaan terbaik di ritel." Starbucks sering menyoroti paket tunjangan komprehensif yang mereka berikan kepada karyawan yang bekerja minimal 20 jam per minggu, yang mencakup asuransi kesehatan, cuti orang tua, dan bahkan biaya kuliah online di Arizona State University. Namun, bagi serikat pekerja, tampaknya tawaran ini belum cukup untuk memenuhi standar "kontrak yang adil" yang mereka inginkan, terutama terkait dengan kenaikan gaji langsung dan kondisi kerja.

Tekanan Ganda

Ini bukan kali pertama serikat pekerja menolak proposal kontrak dari Starbucks. Pada bulan April, delegasi serikat pekerja menolak proposal yang menjamin kenaikan gaji tahunan minimal 2%, dengan alasan bahwa proposal tersebut tidak menawarkan perubahan signifikan pada manfaat ekonomi lainnya seperti tunjangan kesehatan atau kenaikan gaji secara langsung. Penolakan berulang ini mengindikasikan jurang perbedaan yang dalam antara harapan pekerja dan tawaran perusahaan.

Tekanan terhadap Starbucks tidak hanya datang dari internal karyawan, tetapi juga dari pemegang saham. Bahkan, pemegang saham berpengaruh seperti Comptroller Kota New York telah mengirimkan surat kepada perusahaan pada bulan Oktober, mendesak manajemen untuk melanjutkan perundingan yang konstruktif dengan serikat pekerja. Ini menunjukkan bahwa masalah hubungan industrial ini mulai mempengaruhi persepsi investor terhadap stabilitas dan reputasi perusahaan.

Dari sisi perusahaan, Starbucks menghadapi tantangan finansial yang signifikan. Sebelum tanggal 29 Oktober, perusahaan telah mencatat penurunan penjualan selama enam kuartal berturut-turut, dan hanya melaporkan pertumbuhan penjualan same-store 0% untuk toko di Amerika Utara dan 1% secara global. CEO Brian Niccol sedang berupaya keras untuk merombak operasi toko di AS dan merebut kembali basis pelanggan yang sempat hilang. Sebagai bagian dari strategi turnaround tersebut, Starbucks pada bulan September telah menutup lebih dari 600 toko, termasuk toko serikat unggulan di Seattle, dan mengurangi jumlah karyawan korporatnya.

Ancaman mogok yang membayangi di musim liburan, periode krusial bagi industri ritel, bisa menjadi pukulan telak yang memperburuk upaya pemulihan Starbucks. Dengan "Red Cup Day" di depan mata, potensi gangguan operasional bukan hanya akan merugikan penjualan, tetapi juga merusak citra merek dan kepercayaan pelanggan di saat yang paling rentan. Bola memang ada di tangan Starbucks, dan cara mereka menanggapi ancaman ini akan menentukan arah hubungan perusahaan dengan karyawannya serta kinerja keuangannya di masa depan.


Ahmedabad